InterMitraNews.com
MINAHASA — Dalam lanskap besar pembangunan berkelanjutan yang menuntut keadilan ekologis dan ketertiban sumber daya alam, aktivitas galian C yang diduga kuat beroperasi secara ilegal di Poopo, Kabupaten Minahasa, kini menjelma menjadi episentrum krisis ekologis sekaligus ujian moral pertambangan daerah.
Praktik eksploitasi tanpa izin ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pengkhianatan terhadap roh bumi dan etika good mining governance. Dari balik suara alat berat, yang terdengar kini hanyalah rintih tanah yang tercabik dan air yang kehilangan kejernihannya.
Para pemerhati lingkungan menyebut, kerusakan topografi dan terganggunya sistem hidrologi di kawasan Poopo menandai fase degradasi geologi akut — tanah gundul, sungai berendapan lumpur, dan vegetasi penyangga musnah. Jejak aktivitas tambang liar itu meninggalkan luka ekologis yang sulit dipulihkan tanpa rekayasa lingkungan jangka panjang.
“Setiap sekop pasir yang diambil tanpa izin adalah luka pada bumi Minahasa,” ujar salah satu tokoh masyarakat Poopo dengan nada getir.
Secara ekologis, aktivitas tambang ini memicu runoff sedimentatif yang mencemari sumber air bersih dan memperparah krisis hidrologi pedesaan. Secara sosial, muncul gesekan horizontal, degradasi lahan pertanian, serta peningkatan penyakit pernapasan akibat paparan debu silika.
Dari sisi fiskal, royalti dan pajak pertambangan menguap dalam senyap. Pemerintah menilai fenomena ini sebagai bentuk “shadow mining economy” — ekonomi gelap sumber daya yang menyalahi asas transparansi dan kedaulatan mineral daerah.
Lebih tragis lagi, tanpa sistem keselamatan kerja (Mine Safety Regulation), area tambang berubah menjadi ranjau geoteknik yang sewaktu-waktu dapat menelan nyawa pekerja maupun warga sekitar. Tak ada pengamanan lereng, tak ada peringatan dini — hanya risiko dan ketakutan yang menggantung di udara.
Menanggapi situasi tersebut, Pemerintah Kabupaten Minahasa menegaskan komitmen penuh untuk menegakkan “keadilan geologi dan ketertiban tambang.” Melalui instruksi langsung Bupati dan Wakil Bupati, jajaran teknis diminta melakukan verifikasi lapangan, penghentian operasi ilegal, serta tindakan hukum tanpa kompromi.
“Minahasa tidak menolak tambang, tapi menolak keserakahan. Sumber daya alam harus digali dengan izin, dikelola dengan ilmu, dan dijaga dengan nurani,” tegas pejabat Pemkab Minahasa.
Kasus ini menjadi cermin rapuhnya kesadaran ekologis dan moral pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah dan masyarakat kini dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk memulihkan luka bumi Poopo — bukan hanya dengan kebijakan, tapi dengan nurani.
Jika dibiarkan, maka setiap butir pasir yang diangkut dari tanah Poopo akan menjadi epitaf sunyi atas hilangnya moral ekologis manusia Minahasa.

☆/
